Posts Tagged ‘Jivakalpa’

Hari 2016 terakhir di Bandung, dibuka dengan ujian suatu mata kuliah. Belakangan ini suka teringat orang-orang suka berkata “usaha tidak akan mengecewakan hasil”. Tapi, rasanya kok usaha segimanapun tetap tak sejalan dengan ujian yang dikehendaki, hehe. Biarlah, saya percaya kok Tuhan pasti memberi hasil yang terbaik. Dan yang terpenting itu sedalam apa pengetahuan kita akan suatu hal, bukan sebatas nilai berselang A sampai E di rekapitulasi.

Hari 2016 terakhir di Bandung, diisi dengan kumpul bersama teman-teman. Kembali, saya teringat orang-orang suka berkata “yang dekat beberapa hari bisa akrab layaknya bertahun-tahun, yang selayaknya karib bisa terasa seperti orang asing”. Yup, begitu juga dengan hari-hari terakhir di Bandung. Mendadak dekat dan karib dengan beberapa teman yang sebelumnya asing. Karib sampai seharian bisa bersama, belajar yang diselingi olokan akrab, makan siang dan malam yang ditentukan searah langkah kaki, dan humoran receh di grup whatsapp yang juga baru seumur jagung. Rasanya senang, karena kelak saat datang kembali ke kota ini di 2017, sudah ada kawan karib yang sedianya mengakrabi.

Hari 2016 terakhir di Bandung, ditutup dengan perjalanan jarak jauh dari Bandung menuju Jogjakarta. Atas nama Menyapa Indonesia, saya datang kembali untuk mengabdi yang sedikit saja kepada Indonesia di Dukuh Sebatang sana. Unik sekali, karena ada dua sahabat yang menemani saat berangkat menuju stasiun. Saya pernah berkata kepada seseorang, “Jonathan itu tidak suka banyak penonton di panggungnya”, termasuk untuk hal-hal sepele seperti ini. Memang, ada beberapa khalayak yang saat pergi jauh senang diantar oleh sekitarnya, namun saya bukanlah bagian dari khalayak tersebut. Jadi, perlakuan kecil ini sungguhlah membuat senyum terpatri di muka lelah ini. Senyum, karena di Bandung rupanya telah kudapati juga adik-adik yang sebelumnya tak ada kupunya.

Hari 2016 terakhir di Bandung.
Apa sih yang sudah saya benar-benar lakukan di kota ini?
Apa sih yang sudah saya ubah di diri sedari ada di kota ini?
Apa sih yang sudah saya targetkan sampai saya hendak kembali lagi?
Apa, dan apa?

Pertanyaan tak akan berakhir, karena saat semua pertanyaan terjawab, disitulah petualangan berakhir. Dan petualangan saya di Bandung barulah dimulai. Tahun depan, saya akan kembali dengan lebih kuat untuk menaklukanmu.
Sampai jumpa di 2017, Bandung.

Jonathan,
diatas kereta Kahuripan.

30 Oktober 2015,

Setahun lalu, saya kembali ke Sebatang untuk kali kedua. Perjalanan kala itu seorang diri, memang saya lebih senang pergi sendiri demi memanfaatkan momen kesendirian di kereta untuk menata ulang imajinasi diri. Kala itu, banyak teman-teman seangkatan ramai menuju Sebatang. Jawa Timur, Bali, Jawa Timur, sampai teman-teman dari pulau Sulawesi datang untuk berkegiatan di pengabdian masyarakat bernama Menyapa Indonesia ini.

21 Oktober 2016,

Saya seorang diri, kembali seorang diri. Setahun berselang tidak mengubah saya mengurangi renungan perkeretaan saya, terlebih di hari Bapak saya meninggal ke 14 tahun ini. Tapi bukan ini yang menjadi porsi utama saya. Kembali ke Sebatang, itu yang harus menjadi porsi renungan utama saya di kereta saat ini. Ini kali keenam saya berangkat ke Dukuh Sebatang. Apa yang sudah terjadi? Apa yang telah berubah? Apa yang perlu diperbaiki?

31 Oktober 2015,

RAMAI! Subuh sampai di Lempuyangan, saya dijemput Juple. Lalu, rombongan berangkat dengan saya bersama Weda, Ratna, Budi, dan Sartika menuju tanah Sebatang. Kali itu adalah yang pertama bagi 2 nama terakhir, sehingga mereka cukup terkaget dengan rute dan jauhnya jarak tempuh. Program yang akan dilaksanakan di Sabtu itu cukuplah banyak. Di PAUD, ada pelatihan untuk kader-kader PAUD tentang administrasi dan pengelolaan PAUD. Di SD, ada pelatihan tentang cara-cara sertifikasi untuk para guru lokal yang hampir selalu mengeluhkan kesejahteraan mereka yang kurang. Di rumah warga, ada seminar dan tatap muka antara (saat itu masih calon) pelatih dan para warga yang komitmen membangkitkan kembali Jathilan ala Sebatang.

22 Oktober 2016,

SEPI! Kesibukan teman-teman angkatan di Jogja membuat saya memilih dijemput oleh seorang murid yang kebetulan berkuliah di Jogja. Sudah diobrolkan sedari jauh hari bahwa agenda di Sabtu ini adalah pelatihan Jathilan. Sepi agenda? Tidak juga. Perspektif saya saat ini adalah stabilnya kegiatan MI PK-43 yang dilaksanakan di Dukuh Sebatang ini. Tahun lalu, kami masih hiruk-pikuk dengan kegiatan insidentil yang (salah satu) tujuannya untuk memupuk kepercayaan dengan warga setempat, agar kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat yang lainnya dapat terlaksana dengan lancar dan bermanfaat. Jadi, saya malah bahagia jika kegiatan pemberdayaan ini semakin sedikit (secara jumlah kegiatan), karena gradasi inilah yang kami perlukan.

Ah, alinea diatas berujar tentang kuantitas saja. Bagaimana dengan kualitas? Perspektif lain pun saya gunakan. Para malaikat PK-43 yang berkuliah di Jogja tetap intensif memantau perkembangan di grup, meskipun secara fisik belum bisa turun langsung ke ranah kegiatan. Saat ini, kader lokal yang membantu kegiatan pun suatu hal yang perlu diapresiasi. Bisa dibilang, kami datang benar-benar tinggal membantu sedikit dari kegiatan pelatihan Jathilan yang akan dilaksanakan di malamnya. Mengapa? Karena warga sudah cukup sadar dan inisiatif untuk mengerjai bagian mereka, sehingga kerjasama yang (ini beneran lohh) impian kami di awal sudah makin nampak. Oh iya, pelatihan Jathilan bahkan sudah masuk regenerasi ke anak-anak kecil yang sebentar lagi akan remaja.

1 November 2015,

Tak banyak terjadi di hari ini. Kala itu, ada lanjutan seminar Jathilan di Sebatang. Cara yang sangat kental terasa adalah tata cara penggunaan bahasa yang kala itu berbahasa Jawa. Pendekatan ini kami lakukan semata-mata agar bisa lebih dekat dan karib dengan masyarakat yang menjadi sasaran program pemberdayaan kami ini. Bagaimana dengan saya dan teman-teman? Ah, euforia selepas PK masihlah amat tinggi. Kami (diakhir kegiatan) tak lupa untuk foto bersama, per kelompok kecil maupun satu angkatan besar sekaligus. Kala itu, sangat bahagia karena ramainya teman-teman seangkatan yang datang dan lancarnya kegiatan-kegiatan yang terlaksana sedari Jumat.

23 Oktober 2016,

Hari berlanjut dengan pelatihan Bahasa Inggris. Satu yang belum mampu “terjamah” oleh kami adalah upaya mengajak para muda-mudi Sebatang untuk datang berlatih dan berbahasa Inggris. Namun, jangan tanya perihal animo anak kecil di Dukuh Sebatang dalam pelatihan ini. Animo mereka SANGAT CIAMIK. Ya, perlu saya tulis dengan huruf kapital mengingat semangatnya mereka yang 80% datang lebih dahulu dari kami (ini, duhhh) padahal rumah mereka ada yang bahkan perlu jalan kaki sampai 30-60 menit. Anak-anak yang semalam berlatih Jathilan pun turut muncul pada hari ini, dan mereka semangat untuk belajar Bahasa Inggris.

Nilai penting yang kami penuhi terletak pula di SDM eksternal yang kami gunakan. MI bukanlah kegiatan eksklusif, sehingga kami sangat berbahagia bila dapat bersinergi dengan orang-orang diluar angkatan kami. Mengapa? Karena kami mau virus berbagi terus menjalar dan dapat menjadi inspirasi untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat selanjutnya di tempat lain. Ah, satu lagi yang membuat saya tersenyum. Beberapa warga yang saya temui disana sudah mulai sedikit-sedikit berbahasa Inggris. Wah, jika setahun lalu mereka lebih gemar dengan Bahasa Jawa, maka kemauan untuk pelan-pelan menggunakan pula Bahasa Inggris tentulah sangat membanggakan.

Kala itu dan saat ini,

adalah dimensi waktu yang berjarak 12 bulan, namun memberikan lebih dari 12 sudut pandang terhadap hal-hal yang terjadi. Tak melulu positif, tidak selalu negatif, namun pastilah dinamis. Dinamis, yang menurut saya indikator bahwa kita bergerak. Jika berbicara beda, jelas sekali beda yang saya rasakan kala itu dan saat ini. Kerinduan saya terhadap rekan-rekan sejawat PK-43 tidaklah seutuhnya terobati. Namun, melihat perkembangan program, yang dijalankan dengan tawa, debat, diskusi, amarah, senyum, pengorbanan, dan semua aspek-aspek lain, sungguhlah membuat hati ini bahagia. Bahagia, bukan karena kami berhasil, namun karena adanya dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat Sebatang. Jivakalpa, semangat kami! 🙂

img-20161106-wa0006

Sebatang Sedaya

[Original writer: Rizka Maulina Wulandari]

Salam Budaya!
Semoga apa yang tertulis bisa bermanfaat untuk semuanya..

Pagi itu, H+5 pasca program Persiapan Keberangkatan Angkatan-43 (PK-43), tepatnya tanggal 15 Oktober 2015, saya di Jogja ditemani teman-teman perwakilan kopdar Angkringan Berhati Nyaman (Mas Aziz, Mbak Laili, Laela, dan Melisa) menjalani persiapan untuk pelaksanaan workshop kebudayaan. Persiapan dimulai dari membuat TOR, mencetak undangan, spanduk, kroscek proyektor+layar lcd, dsb. Siangnya, setelah pembagian tugas, saya dan Mas Aziz ke Sebatang untuk menyerahkan undangan dan TOR untuk para pemateri, naahhh mulai dari sinilah keseruan perjalanan dimulai…

Perjalanan dari pusat kota Jogja ke Sebatang kami tempuh dengan naek motor “si Jeruk” kesayangannya Mas Aziz. Waktu tempuh sekitar 1,5 jam, dengan jalan yang dipilih Mas Aziz adalah jalan pintas menuju Sebatang yang kondisi jalannya ‘aduhai’ berbatu dan ‘mendaki gunung lewati lembah’. Sesampainya di Sebatang, kami langsung menuju rumah Pak Rubino. Jalan menuju kediaman Pak Rubino pun berhasil buat saya ‘deg-deg’an. Malamnya, saya, Mas Aziz, Pak Rubino, dan Mas Kelik ke rumah Pak Dukuh untuk mengantar undangan. Dan, untuk pertama kalinya, saya ke Sebatang dalam kondisi malam hari dengan jalanan yang sepiiiiiiii, gelaaaappppp banget (lampu pun ndak ada lho teman), ditambah jalannya yang berbatu, menukik, naik turun, sempiittt yang berhasil bikin jantung mau copot dan sepanjang perjalanan (ini curhat) saya berkali-kali harus bilang salam biar ndak ada kejadian yg “aneh-aneh” tiba-tiba lewat depan mata..

Sesampainya, kami langsung menyerahkan undangannya. Sayang, reaksi yang diberikan untuk acara kebudayaan kita hanya seadanya. Setelah itu malah pembahasan mengarah ke pembuatan proposal untuk pengadaan gamelan baru. Ini yang saya temui dan membuat saya kaget, ternyata usaha teman-teman di Jogja untuk pendekatan ke warga itu susssaaahhh. Mengapa? Karena mereka masih berpikir bahwa kita harus menghasilkan sesuatu, padahal program-program Menyapa Indonesia (fyi, PK-43 fokus di Pendidikan dan Kebudayaan) dibentuk untuk mendampingi SDM Dukuh Sebatang supaya bisa lebih mandiri ke depannya..

Esok harinya, pagi2 sebelum kembali ke Jogja, saya dan Mas Aziz mengantarkan undangan ke pemateri yaitu Bapak Surtrisno Wiroso, tokoh Jathilan Klasik yang rumahnya ada di tengah hutan dengan jalan menanjak dan berkelok. Sebelum itu, kami mampir ke rumah Mas Kelik terlebih dahulu. Disini saya juga menemukan sesuatu hal yang buat saya terharu. Ada seorang anak yatim piatu umur 5 tahun bernama Vian, dia anak yang pendiam tapi saat saya tanya apa dia suka Jathilan dan dia langsung meragakan tarian nya dengan gumaman alat musik nya. Anak sekecil itu lho paham Jathilan! Saya langsung speechless, ndak tau harus bilang apa ke dia, ada perasaan bangga juga kita mau ngadain workshop untuk menggali Jathilan Klasik di Sebatang, agar bibit muda seperti Vian tidak akan mudah tergerus kebanggaannya akan kesenian yang dia miliki..

Masih banyak sebenernya cerita yang ndak bisa diungkapkan lewat tulisan ini, so kalian harus ngerasain sendiri sensasinya di Sebatang kayak gimana, ketemu masyarakat yang super ramaaahhh.. Ayo, kita ke Sebatang!!

Info lebih lanjut silahkan cek twitter: @jivakalpa @SapaSebatang atau di tautan http://menyapa-indonesia.com/category/gerakan/dukuh-sebatang/ 🙂