30 Oktober 2015,
Setahun lalu, saya kembali ke Sebatang untuk kali kedua. Perjalanan kala itu seorang diri, memang saya lebih senang pergi sendiri demi memanfaatkan momen kesendirian di kereta untuk menata ulang imajinasi diri. Kala itu, banyak teman-teman seangkatan ramai menuju Sebatang. Jawa Timur, Bali, Jawa Timur, sampai teman-teman dari pulau Sulawesi datang untuk berkegiatan di pengabdian masyarakat bernama Menyapa Indonesia ini.
21 Oktober 2016,
Saya seorang diri, kembali seorang diri. Setahun berselang tidak mengubah saya mengurangi renungan perkeretaan saya, terlebih di hari Bapak saya meninggal ke 14 tahun ini. Tapi bukan ini yang menjadi porsi utama saya. Kembali ke Sebatang, itu yang harus menjadi porsi renungan utama saya di kereta saat ini. Ini kali keenam saya berangkat ke Dukuh Sebatang. Apa yang sudah terjadi? Apa yang telah berubah? Apa yang perlu diperbaiki?
31 Oktober 2015,
RAMAI! Subuh sampai di Lempuyangan, saya dijemput Juple. Lalu, rombongan berangkat dengan saya bersama Weda, Ratna, Budi, dan Sartika menuju tanah Sebatang. Kali itu adalah yang pertama bagi 2 nama terakhir, sehingga mereka cukup terkaget dengan rute dan jauhnya jarak tempuh. Program yang akan dilaksanakan di Sabtu itu cukuplah banyak. Di PAUD, ada pelatihan untuk kader-kader PAUD tentang administrasi dan pengelolaan PAUD. Di SD, ada pelatihan tentang cara-cara sertifikasi untuk para guru lokal yang hampir selalu mengeluhkan kesejahteraan mereka yang kurang. Di rumah warga, ada seminar dan tatap muka antara (saat itu masih calon) pelatih dan para warga yang komitmen membangkitkan kembali Jathilan ala Sebatang.
22 Oktober 2016,
SEPI! Kesibukan teman-teman angkatan di Jogja membuat saya memilih dijemput oleh seorang murid yang kebetulan berkuliah di Jogja. Sudah diobrolkan sedari jauh hari bahwa agenda di Sabtu ini adalah pelatihan Jathilan. Sepi agenda? Tidak juga. Perspektif saya saat ini adalah stabilnya kegiatan MI PK-43 yang dilaksanakan di Dukuh Sebatang ini. Tahun lalu, kami masih hiruk-pikuk dengan kegiatan insidentil yang (salah satu) tujuannya untuk memupuk kepercayaan dengan warga setempat, agar kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat yang lainnya dapat terlaksana dengan lancar dan bermanfaat. Jadi, saya malah bahagia jika kegiatan pemberdayaan ini semakin sedikit (secara jumlah kegiatan), karena gradasi inilah yang kami perlukan.
Ah, alinea diatas berujar tentang kuantitas saja. Bagaimana dengan kualitas? Perspektif lain pun saya gunakan. Para malaikat PK-43 yang berkuliah di Jogja tetap intensif memantau perkembangan di grup, meskipun secara fisik belum bisa turun langsung ke ranah kegiatan. Saat ini, kader lokal yang membantu kegiatan pun suatu hal yang perlu diapresiasi. Bisa dibilang, kami datang benar-benar tinggal membantu sedikit dari kegiatan pelatihan Jathilan yang akan dilaksanakan di malamnya. Mengapa? Karena warga sudah cukup sadar dan inisiatif untuk mengerjai bagian mereka, sehingga kerjasama yang (ini beneran lohh) impian kami di awal sudah makin nampak. Oh iya, pelatihan Jathilan bahkan sudah masuk regenerasi ke anak-anak kecil yang sebentar lagi akan remaja.
1 November 2015,
Tak banyak terjadi di hari ini. Kala itu, ada lanjutan seminar Jathilan di Sebatang. Cara yang sangat kental terasa adalah tata cara penggunaan bahasa yang kala itu berbahasa Jawa. Pendekatan ini kami lakukan semata-mata agar bisa lebih dekat dan karib dengan masyarakat yang menjadi sasaran program pemberdayaan kami ini. Bagaimana dengan saya dan teman-teman? Ah, euforia selepas PK masihlah amat tinggi. Kami (diakhir kegiatan) tak lupa untuk foto bersama, per kelompok kecil maupun satu angkatan besar sekaligus. Kala itu, sangat bahagia karena ramainya teman-teman seangkatan yang datang dan lancarnya kegiatan-kegiatan yang terlaksana sedari Jumat.
23 Oktober 2016,
Hari berlanjut dengan pelatihan Bahasa Inggris. Satu yang belum mampu “terjamah” oleh kami adalah upaya mengajak para muda-mudi Sebatang untuk datang berlatih dan berbahasa Inggris. Namun, jangan tanya perihal animo anak kecil di Dukuh Sebatang dalam pelatihan ini. Animo mereka SANGAT CIAMIK. Ya, perlu saya tulis dengan huruf kapital mengingat semangatnya mereka yang 80% datang lebih dahulu dari kami (ini, duhhh) padahal rumah mereka ada yang bahkan perlu jalan kaki sampai 30-60 menit. Anak-anak yang semalam berlatih Jathilan pun turut muncul pada hari ini, dan mereka semangat untuk belajar Bahasa Inggris.
Nilai penting yang kami penuhi terletak pula di SDM eksternal yang kami gunakan. MI bukanlah kegiatan eksklusif, sehingga kami sangat berbahagia bila dapat bersinergi dengan orang-orang diluar angkatan kami. Mengapa? Karena kami mau virus berbagi terus menjalar dan dapat menjadi inspirasi untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat selanjutnya di tempat lain. Ah, satu lagi yang membuat saya tersenyum. Beberapa warga yang saya temui disana sudah mulai sedikit-sedikit berbahasa Inggris. Wah, jika setahun lalu mereka lebih gemar dengan Bahasa Jawa, maka kemauan untuk pelan-pelan menggunakan pula Bahasa Inggris tentulah sangat membanggakan.
Kala itu dan saat ini,
adalah dimensi waktu yang berjarak 12 bulan, namun memberikan lebih dari 12 sudut pandang terhadap hal-hal yang terjadi. Tak melulu positif, tidak selalu negatif, namun pastilah dinamis. Dinamis, yang menurut saya indikator bahwa kita bergerak. Jika berbicara beda, jelas sekali beda yang saya rasakan kala itu dan saat ini. Kerinduan saya terhadap rekan-rekan sejawat PK-43 tidaklah seutuhnya terobati. Namun, melihat perkembangan program, yang dijalankan dengan tawa, debat, diskusi, amarah, senyum, pengorbanan, dan semua aspek-aspek lain, sungguhlah membuat hati ini bahagia. Bahagia, bukan karena kami berhasil, namun karena adanya dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat Sebatang. Jivakalpa, semangat kami! 🙂