Sebatang Sedaya

[Original writer: Rizka Maulina Wulandari]

Salam Budaya!
Semoga apa yang tertulis bisa bermanfaat untuk semuanya..

Pagi itu, H+5 pasca program Persiapan Keberangkatan Angkatan-43 (PK-43), tepatnya tanggal 15 Oktober 2015, saya di Jogja ditemani teman-teman perwakilan kopdar Angkringan Berhati Nyaman (Mas Aziz, Mbak Laili, Laela, dan Melisa) menjalani persiapan untuk pelaksanaan workshop kebudayaan. Persiapan dimulai dari membuat TOR, mencetak undangan, spanduk, kroscek proyektor+layar lcd, dsb. Siangnya, setelah pembagian tugas, saya dan Mas Aziz ke Sebatang untuk menyerahkan undangan dan TOR untuk para pemateri, naahhh mulai dari sinilah keseruan perjalanan dimulai…

Perjalanan dari pusat kota Jogja ke Sebatang kami tempuh dengan naek motor “si Jeruk” kesayangannya Mas Aziz. Waktu tempuh sekitar 1,5 jam, dengan jalan yang dipilih Mas Aziz adalah jalan pintas menuju Sebatang yang kondisi jalannya ‘aduhai’ berbatu dan ‘mendaki gunung lewati lembah’. Sesampainya di Sebatang, kami langsung menuju rumah Pak Rubino. Jalan menuju kediaman Pak Rubino pun berhasil buat saya ‘deg-deg’an. Malamnya, saya, Mas Aziz, Pak Rubino, dan Mas Kelik ke rumah Pak Dukuh untuk mengantar undangan. Dan, untuk pertama kalinya, saya ke Sebatang dalam kondisi malam hari dengan jalanan yang sepiiiiiiii, gelaaaappppp banget (lampu pun ndak ada lho teman), ditambah jalannya yang berbatu, menukik, naik turun, sempiittt yang berhasil bikin jantung mau copot dan sepanjang perjalanan (ini curhat) saya berkali-kali harus bilang salam biar ndak ada kejadian yg “aneh-aneh” tiba-tiba lewat depan mata..

Sesampainya, kami langsung menyerahkan undangannya. Sayang, reaksi yang diberikan untuk acara kebudayaan kita hanya seadanya. Setelah itu malah pembahasan mengarah ke pembuatan proposal untuk pengadaan gamelan baru. Ini yang saya temui dan membuat saya kaget, ternyata usaha teman-teman di Jogja untuk pendekatan ke warga itu susssaaahhh. Mengapa? Karena mereka masih berpikir bahwa kita harus menghasilkan sesuatu, padahal program-program Menyapa Indonesia (fyi, PK-43 fokus di Pendidikan dan Kebudayaan) dibentuk untuk mendampingi SDM Dukuh Sebatang supaya bisa lebih mandiri ke depannya..

Esok harinya, pagi2 sebelum kembali ke Jogja, saya dan Mas Aziz mengantarkan undangan ke pemateri yaitu Bapak Surtrisno Wiroso, tokoh Jathilan Klasik yang rumahnya ada di tengah hutan dengan jalan menanjak dan berkelok. Sebelum itu, kami mampir ke rumah Mas Kelik terlebih dahulu. Disini saya juga menemukan sesuatu hal yang buat saya terharu. Ada seorang anak yatim piatu umur 5 tahun bernama Vian, dia anak yang pendiam tapi saat saya tanya apa dia suka Jathilan dan dia langsung meragakan tarian nya dengan gumaman alat musik nya. Anak sekecil itu lho paham Jathilan! Saya langsung speechless, ndak tau harus bilang apa ke dia, ada perasaan bangga juga kita mau ngadain workshop untuk menggali Jathilan Klasik di Sebatang, agar bibit muda seperti Vian tidak akan mudah tergerus kebanggaannya akan kesenian yang dia miliki..

Masih banyak sebenernya cerita yang ndak bisa diungkapkan lewat tulisan ini, so kalian harus ngerasain sendiri sensasinya di Sebatang kayak gimana, ketemu masyarakat yang super ramaaahhh.. Ayo, kita ke Sebatang!!

Info lebih lanjut silahkan cek twitter: @jivakalpa @SapaSebatang atau di tautan http://menyapa-indonesia.com/category/gerakan/dukuh-sebatang/ 🙂

Leave a comment